Selasa, 04 Maret 2014

ini judul skripsiku, mana judulmu???

PENGARUH PERBEDAAN LATAR TERHADAP KEHIDUPAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU KARYA TERE LIYE DAN IMPLEMENTASINYA DI SMA

Selasa, 15 November 2011

Dampak Positif Pernikahan Agung Puteri Keraton

Prosesi pernikahan agung puteri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara dengan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara berdampak positif bagi budaya Yogyakarta, khususnya perkawinan agung ala keraton secara luas. Namun, perbincangan pernikahan tersebut tak hanya kemegahannya, tetapi juga kedatangan Presiden RI.

Oleh IKA RACHMAWATI


foto google.com
Tersenyum: GKR Bendara dan KRH Yudanegara
melangsungkan pernikahan dengan dihadiri oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara dikemas secara adat keraton yang merupakan salah satu unsur budaya Yogyakarta yang selama ini jarang diketahui masyarakat. Dimulai dari prosesi ritual ‘nyantri’ dengan tujuan mengenalkan calon pengantin putra kepada anggota keluarga keraton, agar lebih mengenal calon menantu. Selanjutnya ‘pelangkahan’ yang dijalani GKR Bendara adalah ritual keraton sebagai bentuk penghormatan karena GKR Bendara menikah mendahului kakaknya. Dalam upacara ‘pelangkahan’ diserahkan beberapa bentuk perhiasan, tas, sepatu, dan dompet. Setelah penyerahan ‘pelangkahan’, GKR Bendara yang mengenakan kebaya warna abu-abu, kemudian melakukan upacara ‘ngabekten’ dengan sungkem kepada kedua orang tuanya.

Prosesi pernikahan pada hari kedua, diawali oleh ritual ‘siraman’ untuk calon pengantin. GKR Bendara menjalani siraman di Sekarkedhaton, sedangkan KPH Yudanegara mengikuti prosesi yang sama di Kasatriyan. Siraman menggunakan air berasal dari tujuh sumber di keraton yang dicampur dengan bunga mawar, melati, kanthil, dan kenanga. Air diambil dari sumber di Ndalem Bangsal Sekarkedhaton, Regol Manikhantoyo, Bangsal Manis, Regol Gapura, Regol Kasatriyan, Kasatriyan Kilen, dan Gadri. Ritual siraman memiliki makna agar calon pengantin bersih secara lahir maupun batin, dan semua hal yang buruk dapat ditinggalkan. Prosesi pernikahan selanjutnya yakni ‘tantingan’ di emper Prabayeksa. Dalam ritual tersebut Sultan menanyakan kemantapan hati putrinya untuk menikah dengan KPH Yudanegara, dan GKR Bendara menyatakan siap untuk menikah.

Di hari ketiga, dilakukan prosesi ijab qabul atau akad nikah, ‘panggih’, kirab pengantin, dan resepsi pernikahan di Kepatihan. Akad nikah KPH Yudanegara dengan GKR Bendara langsung dilakukan sendiri oleh Sultan pada pukul 07.10 WIB. Walaupun, KPH Yudanegara berasal dari Lampung tetapi ia sudah fasih mengucapkan bahasa Jawa ketika ijab kabul di Masjid Panepen Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. ‘Panggih’ pengantin diawali dengan tarian, dibawakan oleh tiga penari sebagai simbol tolak bala diiringi rombongan abdi dalem Keparak yang membawa kembar mayang dan pisang sanggan. Upacara ‘panggih’ dimulai dengan prosesi lempar sirih. Pengantin putra dan putri saling melempar sirih sebagai simbol bersatunya hati. Prosesi dilanjutkan pengantin putri GKR Bendara membasuh kaki pengantin putra KPH Yudanegara sebagai simbol kesetiaan seorang istri kepada suami. Selanjutnya kirab pengantin, selama pelaksanaan kirab hingga resepsi pernikahan , jalan-jalan di kawasan Malioboro ditutup, antara lain jalan di sekitar Alun-alun Utara, simpang empat Kantor Pos Besar, Jalan Ahmad Yani hingga Malioboro akan ditutup setelah pukul 16.00 WIB sebelum kirab berlangsung.

Malamnya sebanyak 2.500 tamu undangan menghadiri resepsi pernikahan putri bungsu Sultan tersebut. Resepsi pernikahan berlangsung mulai pukul 19.00 WIB di Bangsal Kepatihan, kompleks Kantor Gubernur DIY.

Pernikahan Akbar

Pernikahan akbar digelar selama 3 hari ini merupakan sejarah terlengkap pernikahan Keraton karena pernikahan ketiga kakak GKR Bendara sebelumnya tidak memiliki dokumentasi berbentuk visual atau video dokumenter lengkap mengenai adat istiadat pernikahan Keraton. “Hal ini bertujuan agar masyarakat Indonesia khususnya Yogyakarta juga turis asing mengetahui adat istiadat keluarga Keraton Yogyakarta,” kata Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY Kuskasriyati.

Pernikahan agung nan akbar juga ditunjukkan dari banyaknya masyarakat turut berpartisipasi mengikuti jalannya prosesi pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara dengan membuka angkringan gratis di jalan Ahmad Yani hingga Malioboro. “Ini merupakan bentuk dukungan masyarakat Yogyakarta sekaligus tanda bakti pada keraton,” ujarnya .

Ucapan selamat pun berdatangan atas pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara dari berbagai negara yang diterima Sekretariat Gubernur DIY di Kompleks Kepatihan. Negara tersebut antara lain Inggris, Aljazair, Belanda, Jepang, Norwegia, Jerman, Slovakia, Suriname, dan Amerika Serikat. “Hal itu membuktikan pemberitaan media massa baik cetak, elektronik maupun online (dalam jaringan) dari dalam dan luar negeri mampu mengangkat budaya Yogyakarta tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional,” katanya.

Pihak Keraton juga mengakui pernikahan antar GKR Bendara dengan KPH Yudanegara tak kalah dengan Pernikahan akbar di Inggris antara Pangeran William dan Kate Middleton. Oleh karena, pernikahan tersebut melibatkan seluruh rakyat Yogyakarta juga dengan jumlah undangan yang fantastis.

Pro Kontra Kedatangan Presiden RI

Pada pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara nampak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri acara tersebut pada hari ketiga. Kedatangan Presiden RI ini di tengah pro dan kontra jabatan Gubernur DIY dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Isu status Provinsi Yogyakarta sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri karena Yogyakarta sebagai Negara monarki yang memiliki kekuasaan Raja sesungguhnya untuk memimpin rakyatnya. Presiden Yudhoyono juga sempat mengatakan pada sidang Kabinet tahun lalu bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, nilai-nilai demokrasi tidak boleh ada sistem monarki karena dapat bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi. Sedangkan, Sultan berpendapat bahwa DIY bukanlah monarki. Sehingga hal ini menimbulkan kontroversi di antara kedua kubu tersebut.

Namun faktanya, masyarakat Yogyakarta tidak mendemo Presiden Yudhoyono saat kedatangannya di Kepatihan dengan alasan ‘Presiden merupakan tamu ngarso dalem (sultan)’. “melakukan aksi demonstrasi memprotes dan menuntut pemerintah harus mempertimbangkan situasi dan kondisi, jadi tidak bisa asal melakukan demo begitu saja,” ujar Wanto salah satu warga Yogyakarta.

Ia menambahkan, dalam aspek institusi kebudayaan, acara pernikahan itu, menunjukan bahwa Kraton memberikan teladan. Dengan menampakan simbol-simbol kebudayaan. "Ini adalah penegasan keistimewaan DIY dari simbol kebudayaan," imbuhnya.